KINETIC CHAIN
Konsep kinetic chain (rangkaian gerak)
dikenalkan pada tahun 1875 oleh Franz Reuleaux, beliau menyatakan bahwa
rangkaian dari beberapa segmen yang saling berhubungan melalui persendian akan
menciptakan suatu sistem gerak persendian, dimana pergerakan pada satu sendi
diikuti oleh pergerakan sendi lainnya dalam suatu rangkaian gerak (kinetic chain). Pada tahun 1955 pernyataan
tersebut diadaptasi oleh Dr Arthur Steindler kedalam pergerakan tubuh manusia
dan kemudian membaginya dengan 2 jenis rangkaian gerak (kinetic chain) yakni Open
Kinetic Chain dan Closed Kinetic
Chain.
Closed Kinetic Chain (CKC)
ditandai dengan adanya pergerakan segmen proximal dari persendian sedangkan
segmen distal tidak bergerak (fixed), rangkaian gerak ini terjadi ketika
seseorang melakukan ekstensi lutut dalam aktivitas jongkok-berdiri (standing
squat).
Sebaliknya pada Open Kinetic Chain (OKC) ditandai dengan pergerakan
segmen distal persendian sedangkan segmen proximal tidak terjadi pergerakan
(fixed), rangkaian gerakan ini terjadi pada saat seseorang mengayunkan tungkai
bawah dalam melakukan swing phase saat berjalan dan banyak di contohkan pada
gerakan latihan leg ekstension (Ellenbecker dan Davies, 2001).
Aktivasi grup
otot quadriceps dengan metode Closed Kinetic Chain lebih serentak atau
berbarengan (simultaneously) dibanding metode Open Kinetic Chain, serta didapatkan daya kontraksi vastus medial
oblique (VMO) signifikan lebih besar pada penggunaan metode CKC (46±43% Maximal Voluntary Contraction) dibanding dengan penggunaan metode
OKC (40±30% MVC), keseimbangan aktivasi grup otot quadriceps diperoleh pada
penggunaan metode
CKC dibanding OKC, hal ini penting untuk diketahui dalam merancang program
latihan yang melibatkan kontrol sendi patellofemoral (Stensdotter et al, 2003).leg extension (open kinetic chain) |
squat (closed kinetic chain) |
Penelitian
yang dilakukan oleh Stensdotter et al ditemukan perbedaan aktivasi antar grup
otot Quadriceps, dimana pada Closed Kinetic Chain aktivasi grup otot Quadriceps
lebih serentak dibanding Open Kinetic Chain, selain itu aktivitas Vastus Medial
Oblique (VMO) signifikan lebih besar dibanding dengan Open Kinetic Chain,
sehingga pemberian metode Closed Kinetic Chain lebih ditujukan untuk penguatan
VMO khususnya pada kasus-kasus nyeri lutut yang mempunyai indikasi kelemahan
otot VMO,
beberapa penelitian menunjukkan pada Patello Femoral Pain Syndrome
(PFPS) ditemukan adanya atropi otot Vastus Medial Oblique (Starischka, 2013),
kelemahan VMO selalu berkaitan dengan PFPS sehingga pemberian terapi meliputi
penguatan otot VMO ditujukan untuk koreksi lateral tracking pada patella,
ketidakseimbangan kekuatan kontraksi dan onset akivasi antara VMO dan Vastus
Lateral (VL) juga dapat menyebabkan abnormal tracking pada patella, kekuatan
kontraksi antar kedua otot yang tidak seimbang dan onset aktivasi dari kedua
otot yang tidak serentak ini merupakan penyebab yang biasa dijumpai pada PFPS
(Kushion et al, 2012).
Ketidakseimbangan kontraksi antara VMO dan VL
menyebabkan gaya Tarik quadriceps lebih kearah lateral sehingga sudut
Quadriceps (Q angle) menjadi lebih besar (Sokhangooei et al, 2010). Kurangnya
daya kontraksi pada otot VMO akan meningkatkan gaya tarik quadriceps kearah
lateral dan meningkatkan Q angle (Merchant, 2011). Q angle merupakan gaya
resultan dari otot quadriceps terhadap garis tegak (alignment) ligament
patella, biasanya pada pemeriksaan klinis dilakukan dengan membuat garis
imaginer dari anterior superior iliac spine (ASIS) ke titik tengah patella dan
garis imaginer dari tuberculus tibia ke titik tengah patella, nilai normal Q
angle bervariasi antara 10 sampai dengan 14 derajat untuk pria sedangkan untuk
wanita besar sudut Q angle antara 14 sampai 17 derajat, besarnya sudut Q angle
pada wanita disebabkan oleh lebar panggul yang cenderung lebih lebar dibanding
pria, pendeknya tulang femur dan posisi leher femur cenderung ante-version,
karena itu wanita cenderung lebih sering mengalami masalah patella-femoral atau
nyeri lutut (Sokhangooei, 2010).
Dikarenakan
perbedaan Onset aktivasi quadriceps dan pebedaan signifikan kontraksi otot VMO
pada pemberian metode Closed Kinetic Chain (CKC) dan Open Kinetic Chain
(OKC), serta masih banyaknya penggunaan
metode CKC dan OKC pada pusat kebugaran fitness center dan klinik Rehabilitasi
Fisioterapi, menimbulkan permasalahan dan pertanyaan baru mengenai efek kedua
metode terhadap resiko peningkatan sudut Quadriceps (Q angle). Hal ini dianggap
perlu diteliti lebih lanjut dikarenakan meningkatnya Q angle melebihi batas
nilai normal dapat menimbulkan permasalahan pada sendi lutut, dengan pemberian
latihan penguatan quadriceps menggunakan metode CKC dan OKC akan di ketahui
metode manakah yang lebih tidak beresiko meningkatkan sudut Quadriceps (Q
angle), sehingga pada akhirnya pembaca baik terapis ataupun pelaku olahraga
dapat memilih dengan cerdas dan tepat metode yang akan diterapkan atau
dilakukan.
Q Angle
Q angle adalah indikator biomekanik penting pada
ekstremitas bawah dalam memberikan informasi mengenai posisi tegak (alignment)
panggul, tungkai bawah dan kaki, khususnya bagi pasien yang merupakan pelaku
olahraga, baik olahraga yang bersifat kompetisi ataupun rekreasi (Charrette,
2013). Q angle dikenalkan oleh Brattstrom pada tahun 1964, Q angle
didefinisikan sebagai sudut patella yang terbentuk antara ligamentum patella
dan garis lurus dari resultan gaya tarik quadriceps, selanjutnya pengukuran Q
angle didasarkan pada dua garis imaginer dari Anterior Superior Iliac spine
(ASIS) dan garis imaginer dari ligamentum patella (tuberculum tibia yang
bertemu pada itik tengah patella, meningkatnya Q angle merupakan indikasi dari misalignmen
mekanisme ekstensor yang berkaitan erat dengan Patello Femoral Pain Syndrome
(PFPS), hipermobil sendi lutut dan instabilitas patella (Raveendranath et al,
2011).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Raveendranath et al mengenai
perbedaan Q angle antara sendi lutut kanan dan sendi lutut kiri pada 50 subyek
pria dan 50 subyek wanita sehat di India didapatkan hasil rerata Q angle sendi
lutut kanan sebesar 12,86 derajat dan rerata Q angle sendi lutut kiri sebesar
12,60 derajat. Nilai normal Q angle bervariasi antara
10 sampai dengan 14 derajat untuk pria sedangkan untuk wanita besar sudut Q
angle antara 14 sampai 17 derajat, besarnya sudut Q angle pada wanita
disebabkan oleh panggul yang cenderung lebih lebar dibanding pria, pendeknya
tulang femur dan posisi leher femur cenderung ante-version, karena itu wanita
cenderung lebih sering mengalami masalah patella-femoral atau nyeri lutut
(Sokhangooei, 2010). Pengukuran Q angle dapat dilakukan dengan menggunakan
metode radiographic atau goniometer (Belchior et al, 2006). Ferro et al pada
penelitian reabilitas dan validitas antara penggunaan Eectronic Inclinometer
dan Standart Goniometer dalam pengukuran Q angle didapatkan hasil tidak ada
perbedaan signifikan (Ferro at al, 2010). Perbedaan Q angle pada subyek yang
menderita patellofemoral disorder (PFD) dan subyek sehat dengan menggunakan
alat radiologi ditemukan perbedaan Q angle yang signifikan, dimana pada subyek
PFD didapat nilai rerata Q angle sebesar 21,45 derajat sedangkan pada subyek
sehat rerata nilai Q angle sebesar 17,15 derajat (belchior et al 2006).